Kamis, 01 April 2010

MENGAPA PKR DI PERLUKAN


Pembelajaran kelas rangkap merupakan suatu kajian strategi pembelajaran, yang menjadi pilihan dalam melaksanakan proses pembelajaran. Pembelajaran kelas rangkap yang disingkat (PKR) relatife baru di dalam dunia pendidikan dan tidak bnyak sekolah yang melaksanakan PKR ini.
Pengertian pembelajaran kelas rangkap sesungguhnya di mana seorang guru atau sekelompok guru mengelola kelas, yang terdapat berbagai siswa dari tingkatan kelas yang berbeda atau usia yang bervariasi dengan kemampuan yang bervariasi pula dalam satu ruangan untuk tujuan pembelajaran yang bermakna bagi siswa.
Pada ringkasan materi ini akan dibahas lebih mendalam tentang alasan di perlukannya oleh guru dan calon guru.



1. Alasan Psikologis-Pedagogis

Menurut statistik persekolahan tahun 1990 di Indonesia sedikitnya terdapat 12.000 SD yang hanya memiliki guru-3 orang per SD. Sedangkan menurut UNESCO (Djalil: 1997) pada tahun 1980-an di Indonesia terdapat sekitar 20.000 SD yang memiliki guru 1-3 orang. SD-SD tersebut pada umumnya memiliki jumlah murid yang sedikit. Karena jumlah guru dan jumlah muridnya sedikit maka pelaksanaan pemebalajaran sehari-hari menerapkan pendekatan pembelajaran kelas rangkap (PKR)
Di Indonesia selama ini pelaksanaan PKR hanya disikapi sebagai suatu keterpaksaan atau keadaan darurat. Berbeda dengan Negara lain Australia, Amerika Serikat, Belanda, RRC Meksiko, Kolumbia, dan negara-negara kecil di Samudra Pasifik PKR sudah lama di praktekkan dengan sengaja. Di Australia kajian Ilmiah mengenai PKR dan kepustakaan mengenai PKR sudah cukup banyak. Sementara di Indonesia kajian dan kepustakaan tentang PKR sangat terbatas. Baru tercatat satu penelitian tentang PKR (Soemardi dkk: 1996) dan baru satu seri modul PKR Universitas Terbuka (Arial Djalil dkk, : 1997)
Bila dilihat dari bidang kajian psikologi pendidikan terdapat konsep “perbedaan individual” atau “Individual differences”. Konsep ini member informasi bahwa setiap anak didik bersifat unik. Artinya di samping memiliki persamaan juga memiliki perbedaan. Perbedaan ini mungkin terjadi karena perbedaan jenis kelamin, usia dan lingkungan.
Secara psikologis seperti diteorilkan oleh Piaget dan Bell-Gredler (1986), setiap anak memiliki tingkat perkembangan atau “cognitive development” sesuai rentang usianya mulai dari tingkat terendah sensori motor (masa bayi) samapai tingkat tertinggi operasi formal (usia 12 tahun ke atas). Secara psikologis-sosiologis setiap anak memiliki tuntutan perilaku peran yang berbeda-beda sebagaimana diteorikan oleh Havighurst (Alberty: 1958) dalam konsep tugas-tugas perkembangan atau development task. Secara moral anak juga memiliki tingkat perkembangan moralita, sebagaimana diteorikan oleh Kohlberg (1975) dalam konsep cognitive moral development.
Bentuk perhatian dan layanan pendidikan dapat berupa penggunaan pendekatan pembelajaran yang mampu mewadahi perbedaan individual anak. Pembelajaran klasikal-individual dapat dinilai jauh lebih sesuai untuk itu dari pada pembelajaran klasikal-massal.
Dalam pembelajaran klasikal-individual walaupun anak berada dalam satu kelas tetapi layanan pembelajaran diberikan secara individual atau kelompok sesuai tingkatan keunikannya. Sedangkan dalam pembelajaran klasikal-massal anak dalam satu kelas cenderung mendapat perlakuan yang serba sama.
Konsep dan model PKR yang di dalam berbagai kepustakaan dikenal dengan multigrade teaching” (Miller: 1989) “the multiage classroom” (Fogarty: 1992) atau “multiple claas teaching” (UNESCO:1988) merupakamn pendekatan pembelajaran yang dirancang untuk member perhatian dan melayani perbedaan individual anak untuk satu atau lebih dari satu kelas, kedalam satu atau lebih dari satu ruangan.
Secara teoritik sesungguhnya PKR itu dirancang terutama untuk memberi layanan perbedaan individual dalam proses pembelajaran dan bukan semata-mata untuk mengatasi kekurangan guru dalam satu kelas. Selain itu dapat ditambahkan alasan lain yakni sebagai upaya pembentukan keterampilan sosial atau social skills dealam konteks sosial atau kelompok seperti dalam penerapan konsep Open Classroom di USA. (Raka Joni: 1998). Karena itu PKR dapat diterapkan baik disekolah kecil, misalnya SD dengan jumlah guru dan jumlah muridnya kecil, maupun di sekolah biasa yang jumlah guru dan jumlah muridnya memadadi. Dengan kata lain PKR, sesungguhnya berkembang sejalan dengan konsep dan prinsip psikologis dan pedagogis yang berlaku.


2. Alasan Demografis-Sosiologis

Berbeda dengan alasan psikologis –paedagogis yanhg lebih bersifat konseptual, alasan demografis-sosiologis lebih bersifat factual dan praktis.
Pembelajaran kelas rangkap sering dikaitkan dengan sekolah kecil di daerah terpencil yang berpenduduk sedikit. Di sekolah seperti ini biasanya hanya ada satu sampai dengan tiga orang guru untuk melayani seluruh siswa kelas I sampai kelas VI. Jumlah siswa di setiap sekolah juga sedikit. Guru tersebut harus menggabungkan kelas agar bisa mengajar semua siswa di sekolah, artinya dalam satu ruangan ditempati oleh siswa dari dua kelas. Pola penggabungan umumnya adalah kelas 1 dengan kelas 2, kelas 3 dengan kelas 4, dan kelas 5 dengan kelas 6.
SDN Ma’lengu di Kecamatan Bontolempangan Kabupaten Gowa. Sekolah ini hanya memiliki 4 gedung yang terdiri dari 3 gedung (3 ruang) untuk proses belajar mengajar, dan 1 gedung untuk ruang kepala sekolah dan administrasi. Guru yang mengajar terdiri dari 4 guru kelas, 1 guru olah raga, 1 guru agama dengan 1 kepala sekolah. Rata-rata jumlah siswa per kelas adalah 23 anak.
Secara geografis, letak SDN Ma’lengu berada di daerah dataran tinggi sekitar 70 km sebelah timur kota Sungguminasa sehingga jauh dari keramaian. Selain itu, SDN Ma’lengu juga termasuk salah satu sekolah terpencil di Kab. Gowa yang terletak jauh di pelosok pedalaman yang baru berumur sekitar 4 tahun disebabkan karena sekolah ini sebelumnya adalah kelas jauh yang kemudian mati (tidak ada aktifitas belajar) disebabkan karena tidak ada tenaga pengajar yang mau ke daerah tersebut. Kemudian baru pada tahun 2005 dirintis kembali dengan kondisi tenaga pengajar yang hanya terdiri dari 3 orang dan ruang belajar terdiri dari 2 kelas. Baru pada tahun 2008 mendapatkan tambahan ruang belajar sebanyak 2 buah sehingga sudah ada 3 ruang belajar. Terus guru yang mengajar pada sekolah tersebut terdiri atas 4 orang guru yang berstatus PNS termasuk kepala sekolah, 3 orang guru berstatus honorer. Dan di sekolah tersebut juga terdapat 8 rombongan belajar dan sekolah ini termasuk sekolah satu atap. Siswa yang bersekolah di SDN Ma’lengu adalah anak-anak dari Dusun yang tidak memungkinkan untuk bersekolah di sekolah lainnya. Oleh sebab itu tepatlah jika sekolah ini dikategorikan sebagai sekolah terpencil.
Keadaan sebagaimana dlikemukakan diatas menunjukkan adanya masalah demografis-sosiologis yaitu murid sedikit-guru sedikit, murid sedikit-guru berlebih, murid cukup-guru sedikit, dan murid cukup-guru berlebih. Keadaaan seperti ini menimbulkan permasalahan inefisiensi yakni pemborosan tenaga guru atau permasalahan equity atau pemerataan kualitas yang sukar dicapai kerena kemungkinan terjadi penelantaran muris atau deprivation.
Untuk mengatasi keadaan murid sedikit-guru sedikit, dan murid cukup-guru sedikit, diperlukakan pengelolaan pembelajaran yang memungkinkan terjadi perangkapan kelas oleh seorang guru dalam stu ruangan atau lebih dari satu ruangan. Relevan dengan tuntutan itu konsep dan pendekatan pembelajaran kelas rangkap merupakan jawaban yang tepat.
Selain itu konsep dan model PKR juga merupakakan jawaban yang tepat terhadap adanya keterbatasan logistic. Misalnya ruang kelas yang terbatas karena sejak awal ruangan sangat terbatas atau sebagian ruangannya sudah rusak yang disebabkan karena umur bangunan yang sudah tua atau rusak akibat bencana alam seperti tsunami, gempa bumi, tanah longsor dll.
Satu hal yang juga tidak dapat diabaikan adalah alasan ketidak hadiran salah seorang guru karena berbagai alasan. Kondisi ini menuntut guru yang ada di sekolah untuk melaksanakan kelas rangkap dengan menggunakan PKR. Keadaan ini sangat memungkinkan terjadi baik di SD daerah pedesaan maupun daerah perkotaan.
Pembelajaran kelas rangkap juga terdapat di banyak sekolah perkotaan, karena jumlah siswa tidak seimbang dengan jumlah kelas. Kelas harus digabung untuk mendapatkan jumlah siswa seperti biasa. Jadi alasan dibentuknya kelas rangkap bukan karena kekurangan guru saja melainkan juga alasan efisiensi. Misalnya jika di kelas 1 hanya ada 9 siswa dan kelas 2 hanya ada 10 siswa maka tidak perlu masing-masing kelas diajar oleh seorang guru. Dengan prinsip efisiensi sumber daya maka cukup diperlukan satu guru yang merangkap mengajar kelas 1 dan kelas 2.
Dari pembahan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa penerapan PKR secara konseptual sesuai dengan konsep psikologi dan pedagogi dan secara praktis dapat mengatasi berbagai kendala demografis, sosiologis, dan kendala situasional lainya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar